Keputusan menikah cepat rupanya justru memicu masalah baru. Tak lama setelah resmi menjadi suami-istri, banyak pasangan kerap bertengkar hebat, kemudian pisah ranjang. Peristiwa besar bergantian datang dalam kebersamaan singkat mereka.
Cinta saja belum cukup.
Cinta belum cukup kuat menjadi alasan menuju ke jenjang yang lebih serius. Butuh kesiapan dan komitmen dari kedua belah pihak. Karenanya, ada pula pasangan yang memilih lama berpacaran agar lebih saling mengenal sembari menyatukan visi dan misi bersama sebelum terikat dalam pernikahan. Cinta sudah pasti menjadi dasar kebersamaan, tapi bukan satu-satunya syarat bersatunya dua orang. Masih ada faktor lain, seperti kecocokan, persamaan tujuan, dan hal penting lain yang ikut menjadi pertimbangan.
Waktu bukan patokan, tapi proses perkenalan butuh waktu.
Banyak orang bilang, waktu bukanlah patokan untuk mengukur keseriusan suatu hubungan. Tapi, waktu sangat diperlukan dalam proses perkenalan dua kepribadian, juga dalam proses penyesuaiannya. Pada akhirnya, kualitas hubungan ditentukan oleh dua pribadi itu sendiri, dengan waktu sebagai latar. Karenanya, jika perkenalan dalam waktu singkat sudah menghasilkan kualitas hubungan yang kuat, tak ada salahnya maju ke jenjang yang lebih serius, tapi jika kualitas hubungan masih dirasa kurang walau sudah menjalin hubungan sekian lama, lebih baik tak gegabah melangkah sebelum ada kemantapan dalam hati.
Bersikap tak acuh itu (kadang-kadang) perlu.
Tak jarang juga, mereka yang belum siap akhirnya terpaksa menikah akibat pasangan atau keluarga pasangan “ngebet” meminta anaknya segera dinikahi. Empat orang teman laki-laki saya pun mengaku menikah karena desakan pihak lain, sementara mereka sebenarnya masih ingin berkarier dan menikmati masa lajang. Selain kesiapan, hati-hati terjebak pada opini publik. Belum mantap dengan pasangan, tapi orang-orang di sekeliling merasa laki-laki yang ada di sampingmu adalah laki-laki yang baik, misalnya. Dalam hal ini, andalkanlah hati kecil, toh yang menjalani hubungan adalah kita, ketika nantinya ada masalah atau ketidakcocokan yang mengganjal di hati, cuma kita yang merasakan dampak negatifnya, bukan orang lain. Dengarkan apa kata mereka hanya sebatas masukan, bukan harga mati yang mau tak mau harus dituruti.
Bicarakan masa depan di awal hubungan (yang serius).
Seringkali hal-hal yang berkaitan dengan masa depan menjadi masalah di kemudian hari, seperti masalah keuangan, jumlah anak, kebiasaan masing-masing yang tak membuat nyaman, dan hal lainnya. Dua kepribadian akan menyatu, artinya ada dua prinsip pula yang harus diselaraskan. Faktanya, menurut psikolog yang juga Direktur Konsultasi Psikologi Biro Persona Medan Irna Minauli, cuma 5 persen pasangan yang kehidupan pernikahannya bahagia. Banyak pasangan yang memilih memendam masalah atau konflik internal. Padahal, sewaktu-waktu justru bisa meledak. Nah, itulah pentingnya komunikasi dan evaluasi. Apakah sejak berpacaran kamu merasa banyak ketidakcocokan dengan si dia? Kalau kamu pikir semua butuh penyesuaian, jalani dengan tujuan baik. Tapi, kalau konflik berkepanjangan tak berakhir juga, ada yang mesti kamu jawab dari hati yang terdalam: benar-benar berjodohkah kalian?
Mudah bersama, mudah pula berpisah?
Kembali ke pertanyaan semula. Benarkah komitmen yang terburu-buru memperbesar kemungkinan perpisahan? Jawabannya, iya. Bukan berarti semua pernikahan yang melalui proses perkenalan singkat akan berakhir dengan perpisahan, melainkan yang tak melandasi perkenalan singkat itu dengan keyakinan, kepercayaan, komitmen, dan kemantapan bahwa apa yang dirasakan adalah cinta sejati, bukan terbawa suasana atau pertimbangan lain di luar perasaan pribadi.
Baca deh, How to Marry the Wrong Guy: A Guide for Avoiding the Biggest Mistake of Your Life, kamu akan menemukan alasan mengapa kita cenderung menjalani pernikahan yang salah. Baca sebelum kamu terjebak dalam hubungan yang keliru. Anne Milford, penulis buku itu, menjelaskan bisa jadi hubunganmu keliru karena kamu menikah saat orang lain menikah alias menjadi pengikut, pacar sudah terlanjur dekat dengan keluarga padahal hubungan tak sehat, atau malu mengaku gagal dalam sebuah hubungan. Nah, saatnya menyimpulkan sendiri, kapan saat tepat untuk memutuskan menikah dengan si dia, dan lebih berhati-hati dengan kecenderungan yang mengarahkanmu kepada pernikahan yang keliru.
Cinta saja belum cukup.
Cinta belum cukup kuat menjadi alasan menuju ke jenjang yang lebih serius. Butuh kesiapan dan komitmen dari kedua belah pihak. Karenanya, ada pula pasangan yang memilih lama berpacaran agar lebih saling mengenal sembari menyatukan visi dan misi bersama sebelum terikat dalam pernikahan. Cinta sudah pasti menjadi dasar kebersamaan, tapi bukan satu-satunya syarat bersatunya dua orang. Masih ada faktor lain, seperti kecocokan, persamaan tujuan, dan hal penting lain yang ikut menjadi pertimbangan.
Waktu bukan patokan, tapi proses perkenalan butuh waktu.
Banyak orang bilang, waktu bukanlah patokan untuk mengukur keseriusan suatu hubungan. Tapi, waktu sangat diperlukan dalam proses perkenalan dua kepribadian, juga dalam proses penyesuaiannya. Pada akhirnya, kualitas hubungan ditentukan oleh dua pribadi itu sendiri, dengan waktu sebagai latar. Karenanya, jika perkenalan dalam waktu singkat sudah menghasilkan kualitas hubungan yang kuat, tak ada salahnya maju ke jenjang yang lebih serius, tapi jika kualitas hubungan masih dirasa kurang walau sudah menjalin hubungan sekian lama, lebih baik tak gegabah melangkah sebelum ada kemantapan dalam hati.
Bersikap tak acuh itu (kadang-kadang) perlu.
Tak jarang juga, mereka yang belum siap akhirnya terpaksa menikah akibat pasangan atau keluarga pasangan “ngebet” meminta anaknya segera dinikahi. Empat orang teman laki-laki saya pun mengaku menikah karena desakan pihak lain, sementara mereka sebenarnya masih ingin berkarier dan menikmati masa lajang. Selain kesiapan, hati-hati terjebak pada opini publik. Belum mantap dengan pasangan, tapi orang-orang di sekeliling merasa laki-laki yang ada di sampingmu adalah laki-laki yang baik, misalnya. Dalam hal ini, andalkanlah hati kecil, toh yang menjalani hubungan adalah kita, ketika nantinya ada masalah atau ketidakcocokan yang mengganjal di hati, cuma kita yang merasakan dampak negatifnya, bukan orang lain. Dengarkan apa kata mereka hanya sebatas masukan, bukan harga mati yang mau tak mau harus dituruti.
Bicarakan masa depan di awal hubungan (yang serius).
Seringkali hal-hal yang berkaitan dengan masa depan menjadi masalah di kemudian hari, seperti masalah keuangan, jumlah anak, kebiasaan masing-masing yang tak membuat nyaman, dan hal lainnya. Dua kepribadian akan menyatu, artinya ada dua prinsip pula yang harus diselaraskan. Faktanya, menurut psikolog yang juga Direktur Konsultasi Psikologi Biro Persona Medan Irna Minauli, cuma 5 persen pasangan yang kehidupan pernikahannya bahagia. Banyak pasangan yang memilih memendam masalah atau konflik internal. Padahal, sewaktu-waktu justru bisa meledak. Nah, itulah pentingnya komunikasi dan evaluasi. Apakah sejak berpacaran kamu merasa banyak ketidakcocokan dengan si dia? Kalau kamu pikir semua butuh penyesuaian, jalani dengan tujuan baik. Tapi, kalau konflik berkepanjangan tak berakhir juga, ada yang mesti kamu jawab dari hati yang terdalam: benar-benar berjodohkah kalian?
Mudah bersama, mudah pula berpisah?
Kembali ke pertanyaan semula. Benarkah komitmen yang terburu-buru memperbesar kemungkinan perpisahan? Jawabannya, iya. Bukan berarti semua pernikahan yang melalui proses perkenalan singkat akan berakhir dengan perpisahan, melainkan yang tak melandasi perkenalan singkat itu dengan keyakinan, kepercayaan, komitmen, dan kemantapan bahwa apa yang dirasakan adalah cinta sejati, bukan terbawa suasana atau pertimbangan lain di luar perasaan pribadi.
Baca deh, How to Marry the Wrong Guy: A Guide for Avoiding the Biggest Mistake of Your Life, kamu akan menemukan alasan mengapa kita cenderung menjalani pernikahan yang salah. Baca sebelum kamu terjebak dalam hubungan yang keliru. Anne Milford, penulis buku itu, menjelaskan bisa jadi hubunganmu keliru karena kamu menikah saat orang lain menikah alias menjadi pengikut, pacar sudah terlanjur dekat dengan keluarga padahal hubungan tak sehat, atau malu mengaku gagal dalam sebuah hubungan. Nah, saatnya menyimpulkan sendiri, kapan saat tepat untuk memutuskan menikah dengan si dia, dan lebih berhati-hati dengan kecenderungan yang mengarahkanmu kepada pernikahan yang keliru.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !